Kimya – Sang Putri Rumi
Kategori : Buku
Jenis : Agama Dan Kepercayaan
Penulis : Muriel Maufroy
Judul : Kimya – sang Putri Rumi
Genre : Novel Sufistik - Sejarah
Penulis : Muriel Maufroy
Penerbit : Mizan, Cetakan I, April 2006
Penerjemah : Sobar Hartini
Penyunting : Abd. Syakur Dj.
Tebal : 531 halaman
Diterjemahkan dari:
Judul Asli : Rumi’s Daughter
Penulis : Muriel Maufroy
Penerbit : Rider, London, 2002
Kimya adalah putri angkat Rumi. Dari judulnya, baik judul asli maupun terjemahan, mengarahkan pembaca kepada Rumi, sang ayah. Siapakah Rumi (Jalaluddin Rumi)? Banyak pihak yang mengelompokkan Rumi sebagai pujangga atau seniman Persia, dan tidak sedikit pula pihak yang mendudukkan Rumi sebagai salah satu tokoh sufi. Saya pribadi sebetulnya sangat awam dengan karya Rumi, namun diskusi dengan suami saya dan buku & ceramah guru saya di masjid Al Munawarah lah yang mengenalkan saya pada perenungan-perenungan Rumi yang mengajarkan keyakinan atas Tuhannya, kerendahan hati, kenisbian sebagai manusia, dan hal lainnya yang menggiring manusia pada titik nadir.
Esensi dari novel ini merupakan catatan sejarah yang dikemas dalam bentuk cerita sejarah.
Bagian awal novel ini mengisahkan Kimya kecil yang memiliki karakter dan pembawaan yang cenderung berbeda dengan anak-anak lain seusianya. Dalam usianya yang baru menginjak tujuh tahun itu, ia seringkali mengalami suatu keadaan yang membawanya disorientasi dari ruang dan waktu. Kimya sendiri tidak pernah memahami apa yang terjadi dengan dirinya pada keadaan tersebut [hlm 18-19].
Kimya mempunyai kakak lelaki, Tahir, dan kakak perempuan, Aishel. Ibunya, Evdokia, cukup memahami kekhususan yang membuat putri bungsunya ini berbeda dengan kedua anaknya yang lain dan anak-anak lain pada umumnya. Evdokia tidak pernah melupakan kedatangan seorang pengelana pada satu malam di saat ia tengah mengandung Kimya. Pengelana yang mengaku bernama Mahsoud ini bak seorang cenayang menjelaskan bahwa bayi yang sedang dikandung Evdokia adalah perempuan, namanya Kimya, dan akan memiliki masa depan yang gemilang. Dibanding kedua saudaranya, Kimya-lah yang paling bersemangat untuk mendengar cerita ayahnya tentang pertemuan ayah dan ibunya.
Pada bagian ke empat, pembaca dikenalkan dengan pemuda bernama Achmed yang hendak mulai menghadiri ceramah-ceramah Rumi di kota Konya. Achmed sudah mahfum pada sang Maulana yang karismatik ini. Ayah Rumi adalah Bahaudin Walad, seorang ulama yang diundang oleh Sultan Alaudin Kaykobad untuk berkunjung dan menetap di Konya.
Pada hari pertama Achmed memasuki madrasah tempat Rumi menyamaikan ceramahnya, ia mendengarkan rangkaian kata yang membuatnya menangis haru, “Dia Pencipta dan Pemilik semesta, kepadaNya segala sesuatu berpulang.” “Cinta kepada Sang Pencipta bersemayam di hati seluruh umat manusia, baik pada kaum Majusi, Yahudi, maupun Kristen.” Kemudian, “Siapa yang takut kepada Allah, meskipun dia dianggap orang kafir, sebenarnya dia adalah seorang agamis, bukannya tidak beragama sama sekali.” Rasanya, tidak hanya Achmed dan para jamaah di madrasah itu yang merasakan kesejukan pada angin persahabatan yang ditiupkan oleh cermah Rumi, saya sebagai pembacanya pun merasakan “damai di bumi, damai di hati”. Sudah sepatutnya, kita tidak menuding orang tidak shaleh atau tidak beragama hanya karena ia tidak sama cara beragamanya dengan yang kita jalani.
Ceramah Rumi ini membukakan mata hati Achmed pada segala ilmu yang telah ia peroleh. Ia bertekad untuk menemukan kehakikian hidup dengan meninggalkan Konya, kotanya. Makna dari kata-kata dalam ceramah Rumi meresap dalam hati dan pikirannya. Pengelanaannya ini membawanya tiba ke kota tempat Kimya dan keluarganya tinggal. Sebuah pertemuan di hutan menjadi awal pertemanan Achmed dengan Kimya dan keluarganya. Achmed tinggal di sebuah gubuk yang ia dirikan di hutan, dan secara rutin ia menerima kiriman makanan dari keluarga Kimya. Sejak awal perkenalan, Achmed sudah menangkap keistimewaan Kimya. Tidak lama, Achmed sebagai orang asing di desa itu menjadi bahan pergunjingan warga, dari yang bersikap simpati hingga berpandangan negatif. Hmmm … hal seperti ini terjadi di manapun …
Hingga suatu saat pergunjingan warga beralih pada kehadiran Pater Chrisostom yang telah tiga bulan tidak mengunjungi desa itu. Sebenarnya, tidak hanya Achmed, Pater inipun bahkan sudah sejak lama menaruh perhatian pada diri Kimya, hingga ia menyarankan ayah Kimya untuk mengirimkan Kimya untuk sekolah di Konya. Ide ini menciptakan ketidaktentraman dalam keluarga Kimya, terutama ayahnya yang sanagt menyayangi putri bungsunya ini.
Suatu hari, Kimya berbincang-bincang dengan Achmed saat ia dan Aishel, kakaknya mengantarkan makanan untuk Achmed di hutan. Dalam percakapannya ini, Kimya mencetuskan kalimat yang sebenarnya tidak disadarinya, namun mengejutkan Achmed, “Dan, kepadaNya segala sesuatu kembali” [hlm 134]. Beberapa kalimat yang diutarakan Kimya, mengingatkan Achmed pada kata-kata Maulana. Hal ini makin membuat Achmed penasaran dan takjub pada Kimya. Terlebih saat Kimya bercerita bahwa ia didatangi oleh orang yang gambarannya sama dengan sang Maulana.
Akhirnya, takdir menentukan Kimya tiba ke Konya. Gadis kecil ini datang diantar ayahnya. Di saat kebimbangan menerpa ayahnya, tiba-tiba di hadapannya muncul sang Maulana, yang kemudian menawarkan agar Kimya tinggal bersama keluarganya. Sejak saat itu Kimya berada dalam naungan cinta keluarga Rumi. Hingga dinikahkannya Kimya dengan sahabat Rumi, Syams. Dari Rumi dan Syams inilah, jiwa Kimya bertualang dalam menemukan hakiki cinta kepada Sang Khalik. Kimya belajar membedakan dengan jelas antara cinta biasa dengan cinta untuk Yang Satu. Rumi dan Syams lah yang mengantar Kimya pada perenungan demi perenungan dalam menemukan Kebenaran.
Pada bagian yang menceritakan berbagai titik yang menghubungkan Kimya dengan Rumi dan Syams, saya perlu merenungkan berulang-ulang makna dari kalimat-kalimat yang disampaikan Rumi dan Syams kepada Kimya. Saya yang awam ini harus melepaskan diri dari dimensi ruang dan waktu, dan mencoba mengkonsentrasikan diri pada Doost (Kekasih) Yang Satu itu. Saat membayangkan Kimya berputar dalam tarian sufistik, “biarkanlah Dia yang mengambil alih, biarkanlah Dia yang merengkuh kalbumu” [hlm 484], kemudian Syams berkata, “Menghilangkan ego diri adalah sebuah jalan, tetapi bukan sebuah tujuan. Betapa agung cintaNya. Dia ingin kau mengenalNya dengan segenap kesadaran” [hlm 485].
Buku ini meninggalkan kesan mendalam bagi saya, karena begitu mendalamnya penghayatan Kimya untuk menemukan tuhannya. Rumi dan Syams telah mengajarkannya cinta hakiki yang hanya dipersembahkan untuk Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Walaupun berisi nuansa filosofis yang kental, namun penyajian yang populer dengan alur cerita yang mengalir, membuat buku ini menjadi bacaan sufistik yang tidak membosankan.
Posting Komentar